Ahli Bahasa dan Orang Biasa
- Sabtu, 13 April 2024
- Admin
- 0 komentar
Seorang ahli nahwu (gramatika Arab) berkata kepada anaknya, “Jika kamu hendak mengungkapkan sesuatu, maka pergunakan akalmu, pikirkanlah dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu sehingga kamu merangkai kalimat yang baik dan benar. Kemudian ungkapkan kata-kata dengan benar.” Suatu ketika keduanya sedang duduk-duduk pada musim dingin sambil menyalakan api. Tiba-tiba ada percikan api yang mengenai jubah sang ayah. Sang ayah tidak menyadari hal tersebut, sedangkan si anak melihatnya. Si anak terdiam sesaat sambil berpikir. Kemudian dia berkata, “Ayah, saya ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Apakah engkau mengizinkan?” Sang ayah menjawab, “Jika sesuatu yang benar, ucapkanlah!” “Saya yakin benar,” jawab si anak. Ayahnya berkata lagi, “Ya sudah, katakan saja!” “Sungguh, saya melihat merah-merah di jubah ayah,” kontan sang ayah melihat jubahnya. Ternyata sebagian besar jubahnya telah terbakar. Dia pun berkata kepada anaknya, “Mengapa kamu tidak segera memberitahukan kepadaku?” Si anak menjawab, “Saya pikirkan dulu sebagaimana perintah ayah. Kemudian saya menyusun kalimat yang benar, baru saya ucapkan.” Lalu sang ayah membentaknya dengan berkata, “Jangan berbicara dengan mengikuti kaidah nahwu untuk selamanya!”
Ada orang fakir yang berdiri di depan pintu seorang ahli nahwu, lalu dia mengetuk pintu. Si ahli nahwu bertanya, “Siapa di depan pintu?” Dia menjawab “Sail (pengemis).” Si ahli nahwu berkata, “Mestinya ditanwin.” Dia menjawab, “Nama saya Ahmad (lafazh Ahmad tercegah dari tanwin)” lantas si ahli nahwu berkata kepada anaknya, “Berilah Sibawaih (nama seorang ahli nawhu) itu remukan roti.”
Seorang ahli nahwu jatuh ke dalam jamban, lalu datanglah seorang tukang sapu untuk mengeluarkannya. Tukang sapu memanggil-manggilnya untuk memastikan dia masih hidup atau tidak. Ahli nahwu menjawab, “Tolong carikan untukku tali yang lunak, ikatlah aku dengan ikatan yang kuat, dan tariklah aku dengan lembut!” Lantas tukang sapu berkata, “Aduh, ibuku bisa kehilangku jika aku mengeluarkanmu dari situ.”
Abu Alqamah, seorang ahli nawhu menemui seorang dokter, lalu dia berkata, “Saya telah makan daging jawazi. Saya makan terlampau kenyang. Lalu saya merasa sakit antara ujung tulang paha sampai ke leher. Dan penyakit tersebut semakin bertambah dan berkembang sehingga bercampur ke ujung-ujung tulang iga. Apakah Anda mempunyai obatnya?” Dokter menjawab, “Iya. Ambillah Khaunaq, sarbaq, dan raqraq. Lalu cucilah dan minum dengan air.” Abu Alqamah berkata, “Saya tidak paham apa yang Anda katakan.” Dokter pun menimpali, “Saya juga tidak paham apa yang tadi Anda katakan.”
Seorang lelaki berkata kepada al-Hasan, “Ma taqulu fi rajulun taraka abihi wa akhihi (Apa pendapatmu megenai seseorang yang meninggalkan ayahnya dan saudaranya)?” Al-Hasan menjawab, “Taraka abahu wa akhahu” (Semestinya secara nahwu menggunakan redaksi abahu wa akhahu). Lelaki tersebut bertanya lagi, “Fa ma li abahu wa akhahu” (Ada apa dengan ayahnya dan saudaranya)?” Al-Hasan menjawab, “Fa ma li abihi wa khihi” (Semestinya secara nahwu menggunakan redaksi abihi wa akhihi). Lelaki tersebut berkata lagi kepada al-Hasan, “Setiap kali saya berbicara denganmu, kenapa kamu selalu menyalahkannya?”
Abu Alqamah, seorang ahli nahwu dikunjungi oleh keponakannya, lalu beliau bertanya kepada keponakannya tersebut, “Apa yang terjadi pada ayahmu?” Dia menjawab, “Meninggal dunia.” Abu Alqamah melanjutkan, “Dia sakit apa?” “Warimat qadamihi (Kedua kakinya membengkak).” Jawabnya. Abu Alqamah menimpali, “Semestinya kamu katakan qadamuhu.” Dia melanjutkan, “Fartafalal waramu ila rukhbatahu (Bengkak tersebut menjalan naik sampai ke lutut).” Alqamah menimpali, “Semestinya kamu katakan rukbataihi.” Keponakannya berkata, “Biarlah paman, kematian ayahku ini lebih berarti daripada mengurusi nahwumu ini.”
Seorang laki-laki berkata kepada lelaki lain, “Saya paham tentang nahwu, hanya saja saya tidak mengetahui redaksi yang diungkapkan oleh banyak orang ini yaitu ‘Abu Fulan, Aba Fulan, Abi Fulan.” Lelaki satunya menjawab, “Aba Fulan itu untuk orang yang pangkatnya tinggi, Abu Fulan untuk orang menengah, sedangkan Abi Fulan untuk orang yang rendahan.”
Seorang ahli nahwu berhenti pada penjual semangka, lalu dia berkata, “Berapa harganya itu dan ini sendiri-sendiri?” Penjual semangka melihat ke kanan dan ke kiri, kemudian berkata, “Maaf, saya tidak punya sesuatu untuk membelahnya.”
Salah seorang ahli nahwu masuk ke dalam pasar untuk membeli keledai. Dia berkata kepada penjual, “Saya ingin keledai yang tidak kecil yang hina atau besar yang terkenal. Jika saya beri makan sedikit, ia sabar. Jika saya beri makan banyak, ia bersyukur, tidak termasuk keledai yang tidak laku, tidak terdesak oleh pasukan berkuda. Ketika di jalanan sepi, ia berjalan cepat. Ketika jalanan macet, ia berjalan pelan.” Lantas si penjual berkata setelah sempat berpikir sesaat, “Tinggalkanlah aku! Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengubah bentuk seorang qadhi (hakim) menjadi keledai, maka aku jual kepadamu.”
Sebagian orang menjenguk seorang ahli nahwu yang sedang sakit. Mereka bertanya, “Apa yang Anda keluhkan?” Ahli nahwu menjawab, “Demam yang berat. Apinya sangat panas, hingga anggota badan menjadi lemas, tulang belulang terasa remuk.” Mereka berkata, “Tidak apa-apa. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kesembuhan kepadamu. Kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu.”
Ada sekeluarga yang salah satu anaknya seorang ahli nahwu yang ucapannya terlalu jelimet. Suatu ketika ayahnya sakit keras dan telah mendekati ajalnya. Anak-anaknya pun berkumpul di sisinya. Mereka berkata kepada ayhnya, “Apakah perlu kami panggilkan untukmu saudara kami yang ahli nahwu?” Sang ayah menjawab, “Tidak usah. Jika dia datang, justru dia membuatku mati.” Mereka berkata, “Kami berpesan kepadanya agar tidak berbicara sepatah kata pun.” Ketika si ahli nahwu datang, dia berkata, “Wahai ayahku! Demi Allah, yang menyibukkan diriku tidak lain ada si fulan. Fainnahu daani, bil-amsi fa ahrasa waadasa wastabzaja wasakbaja wathabaja waafraja wa dajjaja waabshala wa amdhara walawdzaja waflauzaja. Sang ayah pun berteriak, “Pejamkanlah mataku. Orang celaka telah datang mendahului malaikat maut untuk mencabut nyawaku.”
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1